Mauritania yang Morat-marit
Seperti cerita fiksi pasca-apokaliptik menjadi kenyataan. Mobil tanpa lampu depan atau jendela, kebanyakan kelihatan seperti sudah pernah terguling berkali-kali. Penduduk setempat menatap dengan pandangan kosong, seperti zombi. Arsitekturnya bergaya Mogadishu. Di antara kesemrawutan ini sepeda motor saya seolah-olah tidak kelihatan. Tidak ada yang memberi saya jalan. Lebih aman saya naik keledai.
Perlindungan saya dapatkan di situs perkemahan berpagar tembok yang penuh dengan orang Eropa. Besok saya akan mengawali tujuan perjalanan yang sesungguhnya - naik sepeda motor di Sahara. Untuk itu saya perlu seorang pemandu. Saya bergabung dengan dua orang Belanda yang naik mobil ke Gambia. Pemandu akan naik mobil mereka dan saya bisa mengikuti. Sebagai pemandu, Mr Abba memang terlihat seperti layaknya seorang pemandu: orang Arab berkulit gelap berusia 50an, mengenakan jubah putih dan turban kaum Bedouin. Tampaknya dia tidak terusik dengan ikutnya sepeda motor ini, meskipun lama sekali dia mengamati roda belakang yang lebar.
Keesokan harinya kami berada di "arena balap". Kadang ada jalan beraspal, tetapi perjalanannya panas, berdebu dan sangat memerlukan konsentrasi. Setelah 88,5 km mobil berbelok ke kanan, keluar "arena balap" ke gurun Sahara. Dalam sekejap mulut saya mengering.